Rabu, 07 Oktober 2009

Senja

Senja mulai menepi, ketika itu saya mulai membuka bingkisan untuk mengetahui adakah harapanku untuk bisa hidup esok pagi....Ternyata setelah kubuka hanya sebutir pasir yang ada, dan akhirnya saya membukungkusnya kembali sebutir pasir itu berharap bisa jadi mutiara agar hidupku bisa bertahan untuk esok hari dan selamanya. Beberapa menit kemudian, saya membukanya lagi, namun tak berubah juga....Sesaat saya berpikir mungkinkah semua ini akan terjadi ibaratnya sebuah keajaiban...?.
Tidak,...kataku. Akhirnya kuambil kembali sebutir pasir itu untuk menempatkannya di pantai bersama pasir-pasir yang lain. Hatiku puas, perasaanku tenang, tak ada yang menghantui untuk berpikir akan sebuah keajaiban itu. Namun, perutku seakan memintaku untuk bisa mengerti akan keadaannya. Maka, beranjaklah saya dari tempatku dimana saya meletakkan sebutir pasir tersebut, tiba-tiba saya melihat sepotong roti yang terseret buih ke pantai. Saya pun mengambilnya, pikirku inilah berkah bagiku untuk mengerti akan perutku yang lapar. Saya pun berkata dalam hati...........................???.
Laparku tak sebanding dengan lapar dan derita yang dialami saudaraku yang ada di sana....
Tak buih yang lembut....
Tak ada senja yang yang tenang....
Tak ada pantai yang indah....
Apalagi, sepotong roti untuk laparnya yang lebih dari apa yang kurasa....
Kawan,....!!!
Jika anda menemukan sepotong roti maka sisihkanlah untuk saudaramu yang lapar....
Jika anda berada ditempatku dimana saya mendapatkan sepotong roti, sampaikanlah ucap terima kasihku pada ribuan, jutaan butir pasir yang ada di pantai itu....
Sampaikanlah salamku pada buih yang mengantarnya ke pantai, karena dia saya bisa bertahan untuk esok pagi....

Minggu, 04 Oktober 2009

SIMBOL KEHIDUPAN

Berpikir Atas Peristiwa

Manusia setiap kali akan berpikir tentang dunia, dimana dunia selalu menghantui manusia itu sendiri dari dimensi yang tak terbatas dan kompleks dengan berbagai masalah. Dunia yang fenomenal ini sungguh memang tidak disadari oleh setiap manusia yang menghuninya. Manusia terkadang menganggap enteng terhadap setiap fenomena yang ada, tanpa adanya sebuah refleksi diri terhadap manusia itu sendiri. Pernahkah kita berpikir terhadap setiap peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dalam satu dekade ini. Peristiwa-peristiwa besar yang saya maksudkan bukan sebuah peristiwa yang terjadi yang terpikirkan oleh manusia itu sendiri, akan tetapi peristiwa yang terjadi secara spontanitas, dimana manusia tidak menduganya dan bahkan tidak memikirkannya sekalipun. Perang dunia satu dan dua, revolusi Iran mungkin saja manusia mengatakan kesemuanya itu adalah peristiwa-peristiwa besar yang menggemparkan dunia, tapi bagiku itu adalah hanya peristiwa yang kecil dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi di Aceh, Padang, dan Jawa serta beberapa tempat yang telah diratakannya. Perang dunia dan revolusi Iran sebagai icon yang menggemparkan dunia tidak lain adalah setting manusia yang disadari akan adanya sebuah perubahan. Saya contohkan perang dunia sebagai sebuah icon perubahan manusia yang bergelut dengan dunia mesinisasi, dimana mesin yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kekuatan, sehingga manusia pada masa itu senang dengan perang-perangan, bunuh-membunuh sampai pada perampasan terhadap hak dan klaim kebenaran atas kekuatan yang dimilikinya. Revolusi Iran yang menandakan manusia pada masa itu sebagai proses perubahan terhadap diri umat Islam, tidak lain adalah setting manusia juga yang lagi-lagi adanya otoritas ego terhadap sebuah kebenaran yang diyakininya. Kedua peristiwa tersebut yang biasa manusia mengatakannya sebagai peristiwa-peristiwa besar tidak membuat bulu kuduk saya merinding, sebab pengorbanan yang terjadi hanyalah sandiwara para penguasa yang berujung pada pembantaian manusia yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.

Satu hal yang membuat saya berpikir adalah peristiwa yang lebih besar dimana manusia tidak menyadari dan memikirkan sebelum akan terjadinya peristiwa tersebut, saya mengatakan itu adalah peristiwa terbesar sepanjang zaman. Inilah peristiwa yang menggemparkan umat, bukan saja Islam, Kristen, Protestan dan yang lainnya akan tetapi seluruh umat manusia yang ada di dunia, termasuk diri saya. Sekarang manusia heboh dengan aktivitas dunianya tanpa berpikir terhadap apa yang dipikirkan dan dilakoninya. Para politisi sibuk dengan kegiatan politisnya, penghulu agama sibuk dengan kegiatan keagamaannya, dan para seniman asyik dengan kegiatan seninya yang selalu menggambarkan realitas dahulu, sekarang dan masa depan. Tapi, pernahkah kita berpikir akan kehidupan kita sendiri dimana seluruh rangkaian aktivitas keseharian kita selalu dihantui dengan kemunafikan, tanpa ada bait-bait suci Tuhan yang merangkul seluruh aktivitas itu. Para manusia pun mengatakan bahwa ini adalah krisis terbesar yang melanda dunia yakni krisis kepercayaan yang berimplikasi terhadap krisis moral. Pernahkah kita membuka lembaran-lembaran Kitab Suci yang menjelaskan tentang kekuasaan-Nya, pernahkah kita menemukan dan memahami makna perkataan dari para sufi yang menjelaskan terhadap pentingnya keseimbangan kosmos. Inilah mungkin krisis diri dalam memahami realitas manusia yang saya sebut sebagai refleksi terhadap dunia. Manusia mungkin saja lupa atau khilaf, entah apa namanya yang jelas seindah dengan kata itu, dan itulah yang menjadi justifikasi setiap manusia ketika melakukan kesalahan, termasuk diri saya. Semoga Tuhan memaafkan umat manusia atas ke-lupa-an dan ke-khilaf-an itu dan semoga kita kembali bisa membuka lembaran-lembaran dari syair-syair dalam bait-bait suci Tuhan dan menyadarkan kita semua untuk bisa tetap kembali pada jalan yang diinginkan-Nya. Amin


Istana Soenyi,

04 Oktober 09